REFLEKSI 23 TAHUN TRAGEDI TRISAKTI

PENEMBAKAN, PENJARAHAN, HINGGA PEMERKOSAAN :

Tidak Seriusnya Pemerintah dalam Menyelesaikan Tragedi Trisakti.

       Oleh: Kastrat BEM KM UNTIDAR 2021

 

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 – 1998), Hafidin Royan (1976 – 1998), dan Hendriawan Sie (1975 – 1998).

Awal tahun 1998 ekonomi Indonesia mulai goyah akibat krisis finansial Asia sepanjang 1997-1999. Mahasiswa melakukan aksi demonstrasi  ke Gedung Nusantara, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.  Dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer. Mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri kemudian pada pukul 17.15 mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Mahasiswa panik dan sebagian besar berlindung di Universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brimob, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam serta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1. Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.

Kronologi penembakan pada peristiwa trisakti mei 1998

  • 10.30 -10.45
    • Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan. Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.
  • 10.45-11.00
    • Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.
  • 11.00-12.25
    • Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen, karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar.
  • 12.25-12.30
    • Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
  • 12.30-12.40
    • Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang) dan mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap tertib pada saat turun ke jalan.
  • 12.40-12.50
    • Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju Gedung MPR/DPR melewati kampus Untar.
  • 12.50-13.00
    • Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Wali Kota Jakarta Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis barisan.
  • 13.00-13.20
    • Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat (Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakalpolres Jakarta Barat). Sementara negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.
  • 13.20-13.30
    • Tim negosiasi kembali dan menjelaskan hasil negosiasi di mana long march tidak diperbolehkan dengan alasan kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Di lain pihak pada saat yang hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk.
  • 13.30-14.00
    • Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara itu pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
  • 14.00-16.45
    • Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula dicari terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus.
    • Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
  • 16.45-16.55
    • Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tetapi setelah dibujuk oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau bergerak mundur.
  • 16.55-17.00
    • Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.
    • Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota aparat yang menyamar.
  • 17.00-17.05
    • Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa mengejar ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti menahan massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat dikendalikan untuk tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta Kapolres agar masing-masing baik massa mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama mundur.
  • 17.05-18.30
    • Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi dapat diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.
    • Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut terjadi, aparat melakukan penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata dihampir setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet dipinggang sebelah kanan.
    • Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya sambil lari mengejar massa mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Aksi penyerbuan aparat terus dilakukan dengan melepaskan tembakkan yang terarah ke depan gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.
    • Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan yang terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
    • Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
  • 18.30-19.00
    • Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju RS.
  • 19.00-19.30
    • Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak jitu) di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla dan dengan segera memadamkan lampu untuk sembunyi.
  • 19.30-20.00
    • Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar adari ruangan. Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan mereka ke rumah masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan Kol.Pol. Arthur Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat pulang dengan cara keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
  • 20.00-23.25
    • Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh korban, mahasiswa berangsur-angsur pulang.
    • Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi.
  • 01.30
    • Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoedin di Mapolda Metro Jaya. Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Trisakti Prof. Dr. R. Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W. Soeharto.

Tragedi Trisakti menelan nyawa empat orang yang namanya abadi hingga kini, yakni Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur), Hafidhin Royan (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Teknik Sipil), Hery Hartanto (Fakultas Teknologi Industri), dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi).

 

PERISTIWA PENJARAHAN MEI 1998

Kerusuhan banyak terjadi dalam masyarakat multietnis terutama di negara Indonesia yang memiliki keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan adat istiadat. Pada akhir tahun 1997, terjadi kesenjangan sosial antara etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi. Kesenjangan sosial tersebut sangat nampak terlihat dimana etnis Tionghoa lebih eksklusif di bandingkan masyarakat pribumi. Hal tersebut di dasari oleh terjadinya krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi, krisis politik dan bahkan berkembang menjadi krisis multidimensi. Ketika krisis multidimensi telah terjadi, maka potensi terjadinya kerusuhan akan semakin besar.

Pada tanggal 12 Mei 1998, terjadilah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Trisakti dengan tuntutan berupa reformasi total. Peristiwa demostrasi tersebut menewaskan empat mahasiswa, yaitu Hendrawan Sie, Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, dan Hery Hartanto. Lalu terjadilah aksi kerusuhan dan chaos yang semakin merajalela pada tanggal 13 Mei 1998. Aksi kerusuhan tersebut antara lain berupa penjarahan yang dilakukan oleh masyarakat pribumi terhadap masyarakat etnis Tionghoa. Massa yang melakukan penjarahan pada pekan paling kacau di Indonesia menyebutnya sebagai “Hari Kebebasan.”

Menjelang tanggal 14 Mei 1998, kerusuhan mulai menyebar hampir ke seluruh kawasan Jakarta. Pada saat itu massa memanfaatkan keadaan dengan melakukan pengerusakan, penjarahan, dan pembakaran toko-toko secara serempak di sentra perdagangan yang mayoritas dikuasai oleh etnis Tionghoa. Amuk massa tersebut membuat para etnis Tionghoa menjadi ketakutan, bahkan para etnis Tionghoa menuliskan tulisan “Milik Pribumi” atau “Pro-Reformasi” pada dinding luar toko atau rumah. Beberapa wilayah yang terdampak parah oleh penjarahan, yaitu Roxy Mas (kini disebut ITC Roxy Mas), Topas (kini disebut Roxy Square), Yogya Plaza Klender, Pasar Glodok, dan Orion Plaza. Setelah kerusuhan tidak dapat lagi dihindarkan dan makin meluas bahkan ke beberapa daerah di luar ibu kota. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden Indonesia dan digantikan oleh B.J. Habibie.

Terkait kronologi “kerusuhan”, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dalam laporannya menemukan indikasi bila peristiwa penembakan mahasiswa di Trisakti awalnya menciptakan faktor martir yang menjadi pemicu kerusuhan. Namun kerusuhan yang terjadi di seantero Jakarta, serta terulang di beberapa kota besar lain, bukan akibat massa yang marah melihat mahasiswa jadi martir. Semua insiden memiliki pola awal yang hampir sama, yaitu bermula dari berkumpulnya massa pasif yang terdiri dari massa lokal dan pendatang. Setelah itu muncul provokator yang bertugas memancing massa dengan modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian. Tak jarang, massa pendatang ini memanaskan suasana atau merusak fasilitas umum. Jika modus awal mereka berhasil, segelintir orang tadi mulai memancing massa melakukan perusakan, penjarahan, dan pembakaran gedung.

Selain penjarahan, terjadi juga pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa. Pada 13 Mei 1998 malam, Ita Fathia pertama kali mengetahui terjadinya perkosaan massal setelah menemui korban kejadian di kawasan Jembatan Tiga, Jembatan Empat dan Jembatan Lima di Jakarta Barat. Ia menemukan korban itu setelah mendapatkan informasi dari sejumlah orang melalui telepon anonim. “Pertama telepon dari laki-laki katanya ada perkosaan terhadap etnis Tionghoa di Jakarta Utara. Kami pikir itu bohong, namun sekitar jam 8 ada lagi perempuan menelpon mengatakan ada perkosaan di Jembatan Tiga di Cengkareng,” jelas Ita.

            Akhirnya malam itu, Ita dan dua rekannya dari Kalyanamitra pun memutuskan untuk pergi ke kawasan Cengkareng dengan taksi meski belum mengetahui dengan jelas rumah para korban. “Waktu itu di Jakarta Barat sudah ramai, taksi tak bisa masuk, demi keamanan supir taksi menyarankan saya menggunakan syal sebagai kerudung ketika keluar taksi,” kata Ita.

Dia dan dua rekannya pun berjalan kaki ke Jembatan Tiga. Jalanan ketika itu sudah kacau, banyak orang menggedor pintu toko. Sampai di Jembatan Tiga, Ita bertemu dengan camat setempat yang menunjukkan rumah korban perkosaan. “Sebelumnya dia menyarankan jangan ke sana karena berbahaya, tapi setelah tahu kami ingin mendatangi korban, camat itu mendatangi saya dan mengatakan ibu masih ingin ke sana, dia menunjuk arah beberapa rumah, yang korban di sana, sana dan sana,” jelas Ita.

            Ketika mendatangi rumah pertama yang ditunjuk camat tersebut, Ita bertemu dengan korban perkosaan yang diperkirakan berusia 18-19 tahun. “Tatapan matanya sudah kosong, saya lalu mendatangi rumah kedua dan ketiga, benar saja saya menemukan korban dalam keadaan yang sama: sudah mengucurkan banyak darah. Mereka dari kalangan Cina miskin,” kata mantan Direktur Kalyanamitra ini.

Setelah memberikan pertolongan pertama sebisanya pada para korban di Jembatan Tiga, Ita dan rekannya kembali ke kantor. Di sana para relawan menerima banyak telepon kasus perkosaan. Selama 13-14 Mei 1998, kasus perkosaan banyak dilaporkan. Ita pun mendatangi para korban yang diantaranya adalah mahasiswa perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang diselamatkan di pastoran. “Sampai di sana, ada dua perempuan dadanya ditutup plastik hitam, kaki saya bergetar ketika membukanya, mereka menderita luka pada payudaranya dan vaginanya, semuanya mengeluarkan darah,” ungkap Ita. Dia bersama rekannya dari tim relawan dan pastor tersebut berupaya membawanya ke rumah sakit, namun dalam perjalanan mereka memutuskan untuk membawa korban langsung ke bandara untuk diterbangkan ke Singapura. “Karena mereka mengalami pendarahan hebat, dan sampai di bandara mereka dapat diterbangkan ke Singapura, tanpa paspor ataupun visa,” jelas Ita. Situasi bandara Soekarno-Hatta saat itu sangat padat dan kacau, dan banyak orang yang mencari tiket untuk segera pergi dari Indonesia. Ketika melintas di kawasan Jakarta Barat, dalam perjalanan kembali dari bandara, Ita mengatakan melihat sebuah mobil yang dikerumuni massa dan penumpangnya suami istri dan seorang anak. Mereka pun ditolong dan diantar ke bandara.

            Di kawasan Cengkareng, Ita mengatakan melihat banyak perempuan keturunan Cina yang berlarian sambil berteriak. Ita dan sejumlah rekannya pun menghentikan kendaraan untuk berupaya menolong korban. “Tiba-tiba muncul seorang yang dipanggil pak haji, dia membantu kami menolong perempuan-perempuan tersebut dan membawanya ke tempat tinggalnya,” kata Ita. Untuk menangani korban, dibentuk Tim Relawan Untuk Kekerasan Terhadap Perempuan. Tim ini mendapatkan bantuan dari sejumlah organisasi keagamaan Katolik, Kristen, Buddha, Konghucu serta petugas medis. Salah satunya dr. Lie Dharmawan.

PERKEMBANGAN DAN PENYELESAIAN KASUS:

Tragedi Mei 1998 merupakan titik tolak bangsa Indonesia yang tidak dibayar dengan harga murah. Harga mahal yang harus dibayar adalah kekerasan yang terjadi didalamnya.  Pemerkosaan etnis Tionghoa yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia telah menjadi memori kelam dan traumatis yang tidak hanya membekas dalam ingatan para korban, tetapi juga seluruh rakyat yang hidup di masa itu. Akan tetapi, hingga hari ini penyelesaian kasus perkosaan dalam Tragedi Mei 1998 masih belum tuntas. Banyak kendala yang dihadapi untuk mengunkap kasus ini, mulai dari kekurangan data, proses yang sangat berbeli-belit, hingga korban yang enggan melapor dan memberikan kesaksian akibat ancaman dan trauma berat yang dialaminya. Namun demikina, sejatinya keseriusan pemerintah untuk mengungkap kasus ini sangat dipertanyakan. Sejak Presiden Habibie membentuk komisi khusus untuk menangani tragedi ini, lambat laun titik terang semakin remang, dan kasus ini kian tenggelam. Wacana untuk membawa kasus ini ke pengadilan sejak tahun 2000 hingga kini masih belum terlaksana. Alih-alih menyelesaikan dengan tegas, Langkah yang diambil pemerintah semakin tidak jelas. Pada tahun 2008, sempat diadakan pengumpulan bukti oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan untuk dibawa ke pengadilan namun masih nihil. Tidak berhenti, pada tahun 2017 B.J Habibie mengumpulkan Kembali berkas dokumen tragedi tersebut untuk dibawa langsung kepada Presiden Jokowi, tetapi hingga hari ini, belum ada penyelesaiann dari tragedi keji tersebut.

DUGAAN OTAK DIBALIK PEMERKOSAAN PEREMPUAN ETNIS TIONGHOA DALAM KERUSUHAN MEI 1998

Di tengah kencangnya arus bantahan terhadap isu pemerkosaan massal, Sebuah tim khusus dibentuk. Selain wartawan-wartawan belia yang sangat bersemangat, di tim itu ada juga aktifis yang turut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di tahun 1994. Sebaga catatan, D&R dikomandani Bambang Budjono dan diawaki orang-orang Tempo yang telah kehilangan medianya akibat bredel tahun 1994  serta sejumlah pendiri AJI. hubungan para aktifis-relawan kemanusian dengan kaum pewarta akhirnya memburuk di negeri kita. Aksi baku menyalahkan terjadi. Wartawan menuding relawan hanya pandai menggoreng-goreng isu; memerlihatkan bukti mereka tak mampu. Sebaliknya relawan menganggap wartawan hanya mementingkan sensasi sehingga tega memersetankan keadaan kejiawaan korban dan keluarganya. Tak ada titik temu. Para relawan pernah berkeluh-kesah ke AJI karena menganggap sajian pers terkait perkosaan massal Mei 1998 cenderung mengejar efek sensasi saja.

Hubungan relawan-wartawan lebih memburuk lagi setelah Martadinata Haryono  (lebih dikenal sebagai Ita Martadinata) tewas bersimbah darah pada 9 Oktober  1998 di kamarnya. Persisnya, di lantai 2 rumah orang tuanya di Jakarta Utara. Di RSCM jenazah siswi kelas III SMA Paskalis berusia 18 tahun itu kemudian diotopsi dr. Mun’im Idris. Ahli forensik kenamaan yang akrab dengan jurnalis  itu kemudian memberi keterangan pers yang menghebohkan. Ia menyatakan di dubur almarhumah ada jejak sodomi yang sudah lama. “Saya sampai menegur dokter Mun’im karena omongannya. Ia mau masuk ke mobilnya di parkiran RSCM waktu itu.  Saya masih ingat ucapannya. Dia bilang, ‘Kemungkinan anak ini pernah disodomi. Tanda-tandanya sudah lama. Kalau orang nanya siapa pelakunya, yang dicurigai orang dekatnya, terutama bapaknya.’ Kan kurang ajar omongannya!” kata Rita Serena Kolibonso yang kini menjadi Direktur Eksekutif Mitra Perempuan.

Para relawan kemanusiaan merasakan hantaman yang luar biasa. Sebabnya? Sesungguhnya Ita adalah bagian dari mereka. Ia dihabisi 3 hari setelah konferensi pers yang dihelat Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) dan sejumlah organisasi HAM, di Jakarta. Para relawan itu membeberkan ancaman mati yang telah mereka terima. Pengancam menyatakan akan menghabisi mereka jika tidak berhenti membantu  penyelidik internasional yang sedang menangani kasus kekerasan, termasuk perkosaan massal, terhadap perempuan Tionghoa pada  Mei 1998. Ita tewas. Ancaman itu terbukti bukan omong kosong. Para relawan terteror. Sedianya, Ita dan 2 perempuan korban kekerasan seksual pada Mei 1998 akan bertestimoni di markas PBB. Ternyata  seminggu sebelum itu mewujud ia telah disudahi.

Bukan isapan jempol atau hoax perkosaan massal yang terjadi pada 13-15 Mei di Jakarta. Pun yang di luar Ibukota (Medan dan Surabaya)  di masa yang paling menetukan nasib gerakan reformasi. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah BJ Habibie menyimpulkan demikian. Dalam laporannya yang bertanggal 18 Oktober 1998, Sub-Tim Fakta Korban (bagian dari TGPF) yang diketuai Prof. Saparlina Sadli menyatakan mereka hanya berhasil memverifikasi 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual. Tindak ketaksenonohan itu terjadi di Jakarta dan sekitarnya, serta di Medan dan Surabaya. Korbannya paling banyak, di ibukota. Perkosaan hanya terjadi di Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan kawasan lain yang menjadi permukimanan Tionghoa.

Gang rape yang terjadi, menurut TGPF.  Artinya, korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu dan tempat yang sama. Kebanyakan aksi dilakukan di  hadapan orang lain (suami/ tunangan/ pacar/ anak /saudara korban). Lokasinya di  dalam rumah, jalan, dan depan tempat usaha. Sasaran umumnya perempuan Tionghoa, baik kalangan berada, berkecukupan, atau melarat.

Perkosaan dan kerusuhan, menurut Sub-Tim Fakta Korban, saling bertaut dan dilakukan untuk melampiaskan kemarahan atau kebencian. Ada indikasi bahwa pemerkosa adalah orang-orang  terlatih atau yang menggunakan obat.

Setelah melakukan penelusuran panjang setahun terakhir, Law-justice.co beroleh informasi menarik termasuk dari kalangan yang merupakan otoritas intelijen militer di masa prahara tersebut. Seorang narasumber mengungkapkan dirinya melihat sendiri sejumlah korban yang baru saja digagahi. Seorang narasumber mengungkapkan bahwa sebulan sebelum kerusuhan Mei 1998 dirinya mendapat laporan dari anak buahnya tentang kegiatan yang mencurigakan. Isinya? Katanya ada semacam rekrutmen anak-anak Timor. Yang lolos kemudian diasramakan. Kabarnya lokasinya di sebuh tempat di Jawa Barat. “Kami cari ke Batujajar dan Cilendek. Nggak ada. Kami cari terus. Ternyata adanya di Bayah, Banten, di sebuah gunung. Mereka dilatih di sana. Lokasi itu pernah hendak dijadikan pusat pembinaan ke-2 Kopassus, setelah Batujajar. Tempat itu kami pantau,” ungkap dia. Operasi intelijen dijalankan. Ternyata selama masa pengggemblengan di sana  dan sesudahnya ada saja peserta pelatihan itu yang ngoceh. “Mereka kan suka minum-minum. Sofi, misalnya. Namanya  anak muda…Kalau sudah mulai mabuk mereka akan bicara apa pun. Jadi,  kami bisa tau mereka ngapain aja di gunung itu. Tapi kami nggak tau mereka akan dikirim ke mana sebab mereka sendiri pun nggak tau.” Ternyata dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998  anak-anak Timor itu  diturunkan. “Pelaku perkosaan yang disebut tegap, kulit agak gelap, rambut ikal, dan gerakannya terlatih ya mereka! Jumlahnya 200-an. Begitu informasi yang kami dapat kemudian.” “Saya tidak akan menyebut dia siapa. Yang pasti dia memiliki kekuatan yang besar, jaringan yang luas,  dan  uang yang berlimpah. Biaya pelatihan di gunung yang di Bayah nggak main-main. Juga izinnya kalau memang ada. Nggak sembarang orang bisa melakukannya,” lanjutnya. Para narasumber itu beranggapan penembakan 5 mahasiswa Trisakti, penjarahan, pembakaran, dan perkosaan massal adalah bagian dari skenario besar yang bertujuan menumbangkan Presiden Soeharto yang kian terjepit akibat krisis moneter yang bermula tahun 1997. Banyak kelompok yang bermain waktu itu termasuk dari negara-negara adidaya.  Pengkondisian, penggalangan, dan aksi pun dilakukan oleh masing-masing kelompok. Pemain utama dari dalam negeri waktu itu, menurut narasumber, termasuk para jenderal baret merah yang ikut perkubuan 01 atau 02 sekarang. “Pertarungan yang sangat sengit di masa Pilpres sekarang masih kelanjutan dari rivalitas mereka yang nyata di permukaan di tahun 1998,” kata seorang narasumber. Kalau benar demikian adanya, sungguh tegalah para master mind itu menjalankan strategi terkutuk yang telah menghancurkan seketika kehidupan sekian banyak perempuan Indonesia beretnik Tionghoa.

PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DALAM TRAGEDI TRISAKTI

Berdasarkan kronologi tragedi Trisakti 12 mei 1998, pelanggaran HAM yang terjadi berdasarkan UUD 1945

  1. Hak untuk hidup

( pasal 28A “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” )

  1. Hak untuk jaminan dan perlindungan

( pasal 28D ayat 1 “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” )

  1. Hak untuk dijaga kehormatannya dan tidak dilecehkan

( pasal 28G ayat 1 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda Yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan Untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. “ )

  1. Hak untuk rasa aman

( pasal 28G ayat 1 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda Yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan Untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. “ )

  1. Hak untuk bebas dari penyiksaan

(Pasal 28G ayat 2 “ Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. “ )

  1. Hak keadilan

( pasal 28I ayat 4 “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah”)

Pasal 28H ayat 2 “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan Manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan“

  1. Hak menyatakan pikirannya dan sikap

( Pasal 28E ayat 2 “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai Dengan hati nuraninya”)

 

 

 

 

 

 

SUMBER

http://humas.trisakti.ac.id/museum-tragedi-12-mei-1998/sejarah

http://humas.trisakti.ac.id/museum-tragedi-12-mei-1998/sejarah#:~:text=Tragedi%20Trisakti%20adalah%20peristiwa%20penembakan,menuntut%20Soeharto%20turun%20dari%20jabatannya.&text=Mereka%20yang%20tewas%20adalah%20Elang,Sie%20(1975%20%2D%201998).

Titulanita, Fuji, Sumardiati, Siti, Endang W, Mrr. Ratna. 2015. KERUSUHAN PASAR GLODOK: STUDI KASUS ETNIS TIONGHOA DI KELURAHAN GLODOK KECAMATAN TAMAN SARI JAKARTA BARAT) GLODOK’S MARKET RIOT: CASE STUDIES OF ETHNIC TIONGHOA AT SUB-DISTRICT GLODOK DISTRICT TAMAN SARI JAKARTA BARAT, 1998-2000. Jurnal Ilmu Budaya dan Media. [e-journal]. Vol. 3 (1). Hlm 10-19. Tersedia pada: http://jurnal.unej.ac.id/index.php/PB/article/view/1533. Diunduh pada: 10 Mei 2021.

Tivany, Arzia. 2018. Pengakuan Para Pelaku Penjarahan Mei 98, Korban Operasi Kerusuhan Sistematis. VICE News. [online], 19 Mei 2018. Tersedia pada: https://www.vice.com/id/article/a3av7e/pengakuan-para-pelaku-penjarahan-mei-98-korban-operasi-kerusuhan-sistematis. Diunduh pada: 10 Mei 2021.

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-44134808

https://www.law-justice-co/artikel/65561/otak-perkosaan-massal-mei-1998-aib-bangsa-indonesia/

https://tirto.id/tragedi-trisakti-dan-keadilan-yang-tak-kunjung-tiba-coAk

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *